
W2NNEWS,COM—. Sekitar ratusan Masyarakat di Lampung Mengelar Aksi Demo di depan Kantor Walikota Metro bermaksud untuk menolak UU Cipta Kerja, Rabu 21 Oktober 2020.
Demo tersebut mengorasikan menolak Omnibus law UU cipta kerja pertama kali dicetuskan oleh Joko Widodo dalam pidato pelantikannya sebagai presiden republik Indonesia periode ke-2 pada 20 Oktober 2019, tepat 1 tahun yang lalu.
Semula ia menggagasnya sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja. “Sejak gagasan tersebut dilempar ke publik, praktis publik tidak mengetahui proses perencanaan dan perumusannya. Protespun mulai berdatangan, terutama dari kalangan buruh, disebabkan oleh batalnya rencana perubahan UU No.3 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan namun akan diintegrasikan ke dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang diplesetkan menjadi RUU CILAKA sebab akan mencilakakan banyak warga negara.
Tak lama setelah penolakan berkembang, alih-alih presiden terbuka kepada publik, RUU tersebut malah berganti judul menjadi RUU Cipta Kerja.
UU Cipta Kerja bukannya hanya persoalan ketenagakerjaan melainkan menjadi masalah bagi seluruh aspek tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, mulai dari agraria, hukum, pendidikan, pers, keagamaan serta keyakinan, dll. UU ini diwujudkan untuk menggeser ideologi bangsa, menggeser sistem ekonomi hukum dan politik bangsa.
Mengubah, menambah dan menghapus lebih dari 70 peraturan perundang-undangan sekaligus, yang substansinya menabrak dan bertentangan dengan Pancasila dan Konstitusi Negara. sistem ekonomi yang semula dicita-citakan oleh pendiri bangsa untuk kesejahteraan rakyat bergeser menjadi untuk kepentingan penguasa, dan pengusaha mitra pengusaha (oligarki). Itu mengapa gerakan perlawanan Omnibus Law muncul sejak awal gagasan ini dikeluarkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI).
Berbagai gerakan rakyat menolak Omnibus Law tersebut di berbagai wilayah di Indonesia dengan berbagai macam bentuk. Mulai dari ruang-ruang akademik hingga aksi-aksi turun ke jalan, puncaknya adalah sehari setelah Omnibus Law UU Cipta kerja diundangkan.
Sebab Itulah mengapa, pada 6, 7, dan 8 Oktober 2020 aksi massal terjadi di setidaknya 60 kota atau kabupaten tersebar di lebih dari 20 provinsi melakukan aksi penolakan disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Kemarahan rakyat meledak di seluruh penjuru Indonesia. Protes tersebut kemudian direspon oleh negara dengan kekerasan, kriminalisasi, teror, dan intimidasi. Pengesahan UU Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR dan pemerintah telah menjadi pelatuk bom amarah yang selama ini dipendam oleh masyarakat sipil.
Terbukti sepanjang aksi 6, 7, dan 8 Oktober telah menyulut aksi di berbagai daerah. Atrinya, gerakan penolakan ini menunjukkan bahwa seluruh elemen masyarakat sipil sudah jengah dan murka dengan ketidakadilan dan ketidakberpihakan yang dipertontonkan sangat nyata oleh para perangkat negara selama ini.
Hak uji material atau Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK) didengungkan mulai dari para menteri, ketua DPR RI, hingga presiden. Namun, bagi kami, uji materi ke MK bukanlah pilihan berlawanan dan bukan satu-satunya langkah konstitusional. Dalam pengalaman rakyat, proses hukum sering menjadi tempat impunitas.
Untuk konteks Omnibus Law, JR adalah jebakan karena begitu banyaknya pasal di dalamnya yang akan membuat persidangan berjalan selama bertahun-tahun, sementara keuntungan dalam Omnibus Law yang merampas kehidupan rakyat terus berjalan.
Selain itu, UU Cipta kerja adalah produk politik, yang juga dapat dibatalkan pemberlakuannya melalui sikap politik dan tekanan politik, yakni melalui protes rakyat atau demonstrasi dan itu adalah langkah konstitusional.
Dalam sejarah ada UU no 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan yang disahkan tetapi tidak pernah diberlakukan karena aksi penolakan masyarakat. Revisi UU MK yang dilakukan tepat sebulan sebelum pengesahan UU Cipta Kerja juga kami pandang sebagai proses yang sarat akan kepentingan politik.
Pada tanggal 28 Januari 2020 presiden bahkan datang langsung ke MK dalam suatu acara dan meminta dukungan MK perihal Omnibus Law. Hal ini seakan mengingatkan kita bahwa Hakim MK juga memiliki bias atau konflik kepentingan, sebab 3 hakim MK diajukan oleh Presiden dan 3 hakim MK lainnya diajukan oleh DPR RI.
Akumulasi amarah rakyat sipil akibat ketidakpercayaan yang selama ini tumbuh secara sembunyi-sembunyi akhirnya meledak ketika UU Cipta Kerja Omnibus Law disahkan secara terburu-buru dan menafikan asas partisipasi publik.
Dalam Orasi tersebut mereka menyerukan :
1. MOSI TIDAK PERCAYA, TERHADAP PRESIDEN DAN DPR-RI
2. MENDESAK WALIKOTA METRO MENYATAKAN SIKAP MENOLAK UU CIPTA KERJA DAN MENYURATI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNTUK MENCABUTNYA
3. MENYERUKAN RAKYAT UNTUK TURUN AKSI KE JALAN bersama memberikan tekanan politik kepada rezim dan negara hingga presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) sebagai tanda bahwa telah dicabut nya atau dibatalkannya UU Cipta Kerja Omnibus Law.(Syafrin)